Cilegon, BeritaNew.id – Layaknya nakhoda yang meninggalkan kapal setengah berlayar, PT ASDP Indonesia Ferry Cabang Merak menepi saat bipitan tenggat soal limbah kapal. Aliansi Peduli Selat Sunda (APSS) pulang ke dermaga dengan muatan kekecewaan, setelah pertemuan Kamis (08/05/25) tak lebih dari sekadar omong kosong di geladak.

Di meja perundingan, semua “perwira” operasional dan eksternal ASDP hadir—kecuali sang nahkoda besar (General Manager), yang katanya “ada gelombang lain” untuk diurus. Hasilnya? Klarifikasi mereka lebih mirip semilir angin laut: hilang tak berjejak. “Jawaban mereka tak berakar, hanya terombang-ambing di permukaan,” petik Hadi, Koordinator Lapangan APSS.

ASDP berkelit: limbah kapal tak pernah disiram ke laut, melainkan diserahkan ke “anak buah” di PT IFPRO. Namun saat diminta peta rute perizinan, dokumen lingkungan, dan tanda tangan integrasi sistem—jawabannya tenggelam bagai peti di dasar selat. “Kami cuma operator dermaga, bukan penguasa samudra,” dalih juru bicara ASDP, melempar jangkar tanggung jawab ke pelabuhan regulator.

APSS pun mendengus. Bagi mereka, ketiadaan Reception Facility (RF) permanen di pelabuhan tersibuk se‑Nusantara bukan sekadar salah navigasi, melainkan bahaya tumpahan skandal lingkungan. “Jangan biarkan Selat Sunda jadi kolam limbah tanpa izin, hanya karena kapal saling tunjuk,” gertak Wawan, Sekjen APSS.

Sebagai nahkoda lanjutan, APSS bakal mengirim surat resmi ke DPRD Kota Cilegon—memanggil semua menteri angin dan ombak: eksekutif daerah, KSOP, BPTD, hingga pucuk pimpinan ASDP. Tujuannya: hearing terbuka, menenggelamkan drama cuci tangan, dan menambatkan komitmen nyata.

Hadi menutup pernyataan dengan senyum sinis: “Kalau Selat Sunda bisa bersiul, mungkin ia sudah panggil DPRD lebih dulu.” Dan satu hal pasti: APSS tak akan berlabuh sebelum suara rakyat dan laut didengar. Red

Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi